Sunday 31 July 2011

Kematian dan Orang Toraja

Waktu saya bertandang ke Tana Toraja, ada satu hal yang paling mencolok dari kehidupan di Tana Toraja. Kematian.

Kematian adalah bagian yang paling penting dari kehidupan orang-orang di Tana Toraja. Sampai-sampai banyak yang bilang bahwa Orang Tana Toraja bersusah payah mencari nafkah seumur hidupnya hanya untuk membiayai upacara pemakaman mereka.

Oh ya, dan di Tana Toraja orang biasanya bukan bilang "upacara pemakaman" tapi "pesta". Jadi jangan heran ya, kalau kamu di ajak ke "pesta", eh gak taunya diajak ke upacara pemakaman. Pesta pemakaman ini juga ternyata dilakukan pada bulan-bulan tertentu saja, kalau kata mereka namanya "musim pesta".

Setelah berbincang dengan penduduk setempat, saya baru tahu kalau kebanyakan Orang Toraja tidak langsung dikubur setelah kematian. Dikubur setelah satu atau dua tahun setelah kematian itu sudah sangat umum di Tana Toraja. Rupanya mereka menunggu supaya sanak saudara yang jauh-jauh bisa dikumpulkan untuk datang ke pestanya. Ada juga yang menunda pesta sampai bertahun-tahun karena alasan dana. Kalau dana sudah terkumpul, barulah pesta kematian dilangsungkan. Si orang yang sudah meninggal biasanya disuntik dengan formalin, didandani dan di taruh di dalam peti mati. Peti matinya pun dihias, dibuka dan disimpan di ruangan khusus di rumah keluarga.

Unik banget ya? Apa hal yang seperti ini mungkin cuman terjadi di Tana Toraja? Saya gak tahu pasti. Cuman yang saya tahu, Tana Toraja adalah salah satu tempat dari sedikit tempat di Indonesia yang masih memegang kuat akar budaya mereka sampai hari ini. Hal ini bisa dilihat dari kehidupan sehari-hari mereka. Jadi salut sama Orang Toraja.

Wednesday 13 July 2011

Horor di Dalam Gua

Tidak semua Orang Toraja yang sudah meninggal dikubur di dalam tanah. Ada juga Orang Toraja yang dikubur di dalam gua. Sebenarnya sih bukan dikubur tapi disimpan.

Setelah 'pesta pemakaman' selesai peti mati pun dibawa ke dalam sebuah kompleks pemakaman gua, dan disimpan di dalam gua tersebut.

Salah satu kompleks pemakaman gua di Tana Toraja adalah Gua Londa di sebelah utara Kota Makale, Tana Toraja. Konon, gua ini adalah kompleks pemakaman gua tertua di Tana Toraja.

Saya dan teman-teman bayar Rp 5000 masing-masing untuk tiket masuk. Berhubung di dalam gua sangat gelap, kita memerlukan lampu minyak untuk menerangi gua untuk bisa melihat isi gua.

Setelah melewati pintu masuk, banyak guide yang menawarkan service nya dan sekaligus membawakan lampu minyaknya. Rate mereka adalah Rp 25000 untuk sekali tour.

Berhubung teman-teman saya budget nya super strict akhirnya kami tidak menyewa guide. Kami pun masuk ke dalam gua hanya dengan menggunakan head lamp yang kami bawa.

Kebetulan orang yang baru masuk sebelum kami menyewa guide. Jadi pas di dalam gua saya sekalian nimbrung dengerin cerita si abang guide sambil numpang liat-liat pake lampu minyaknya si abang guide.

Hihihi duh... I feel like a stingy a$$.

Di dalam gua banyak tengkorak terserak di dinding gua, atap gua dan di lantai gua. Rupanya peti-peti kayu yang digunakan untuk menyimpan tubuh akhirnya rapuh dan pecah setelah bertahun-tahun lamanya. Alhasil, tengkorak pun berserakan di mana-mana.

Saya sih gak begitu serem liat tengkorak-tengkorak berserakan di dalam gua. Rasanya biasa ajah. Kami pun terus mengikuti si abang guide menyusuri gua yang gelap itu. Lalu dia pun bercerita bahwa ada lorong dari gua kanan yang bisa nyambung ke gua kiri, tapi harus merangkak.

Karena berbadan gede, saya akhirnya lewat pintu masuk depan gua saja.

Sebelum kami meninggalkan gua pertama, dia sudah bilang bahwa ada mayat yang baru disimpan di dalam gua 2 bulan yang lalu. "Tapi ada di gua sebelah" ujarnya. Okelah, siapa takut!

Setelah saya sampai di gua sebelah, memang benar ada sebuah peti kayu di dekat pintu masuk gua yang kelihatannya masih baru. Peti itu ditutupi sebuah kain putih.

Si abang guide dengan santai menarik kain itu dan menjelaskan kepada tamunya "Nah, ini orang mati baru masuk gua 2 bulan yang lalu".

Hiiiy!!!! Saya berteriak histeris (tapi hanya di dalam hati)! Saya sampe speechless karena shock berat. Di atas peti mati itu ternyata ada lubang kotak yang ditutup dengan kaca yang tembus pandang.

Dari kaca itu kita bisa melihat jelas wajah sang mayat yang ternyata adalah seorang pria.

Tubuhnya masih utuh, tapi wajahnya sudah menghitam, bibir dan bagian matanya sudah hitam kebiru-biruan campur sedikit hijau. Belatung pun sudah mulai berkeluaran dari dalam hidung si mayat.

Mayat yang sudah disuntik formalin, decomposing process nya lebih pelan walaupun peti mati telah ditutup selama berbulan-bulan.

Tamunya si abang guide pun langsung sibuk jeprat-jepret memfoto wajahnya sang mayat. What the f...?!

Saking shock nya saya gak bisa lihat pemandangan itu lagi dan saya langsung lari ke luar gua.

Baru kali ini saya melihat jelas mayat yang sedang decomposing. HOROR! INI HOROR NAMANYA!

Dalam hati saya bertanya, kenapa pula orang yang sudah meninggal jadi tontonan para turis seperti ini? Rupanya untuk penduduk setempat itu sudah biasa.

This is definitely something that has crossed my line. Anyways, who am I to say it's wrong?

Buktinya di China, mayat Mao Tze Dong di awetkan dengan formalin dan dipajang di dalam peti kaca di dalam sebuah museum untuk menjadi tontonan para pengunjung. Nasib seorang diktator :-p

Friday 1 July 2011

Gudeg Paling Enak Di Yogya?

Mencicipi makanan yang dimakan oleh penduduk lokal adalah salah satu point terpenting dalam setiap agenda perjalanan saya.

Termasuk waktu keYogya. Kalau 100 orang Yogya ditanya apa sih makanan khas Yogya? Semuanya pasti jawab, Gudeg. Memang gak salah kalau Yogya itu disebut Kota Gudeg.

Kalau begitu di mana Gudeg yang paling enak di Yogya? Well, memang enak itu relative.

Tapi kalau kata penduduk lokal (ini katanya loh) restoran-restoran Gudeg yang paling enak di Yogya itu ada di Jalan Widjilan.

Tanpa banyak bicara, saya pun menyeret teman-teman saya langsung menuju ke Jalan Widjilan. Seorang teman yang orang lokal merekomendasikan Gudeg Bu Widodo yang ada di jalan itu juga. Ternyata setelah dicicipi, memang lain.

Gudeg Bu Widodo, kreceknya besar-besar dan warnanya bikin nafsu. Sayur Gudegnya pun terlihat segar. Wah... gak nyesel mati-matian jalan kaki dari Jalan Maliboro ke Jalan Widjilan. Hehehe setelah makan, hati pun senang. Burp... oops.